Karya sastra tidak
jatuh begitu saja dari langit. Ia diciptakan secara sengaja oleh pengarangnya
sebagai representasi dari kehidupan nyata. Karya sastra tidak bersifat statis,
melainkan dinamis. Artinya karya sastra pun berkembang sesuai dengan zamannya.
Rentang waktu yang amat panjang sejak dulu, sebelum Indonesia merdeka bahkan
ketika sistem pemerintahan Indonesia masih berupa kerajaan mencatatkan
perjalanan karya sastra dari masa ke masa. Sejarah mencatat perjalanan tersebut
sehingga terdapatlah periode-periode dalam karya sastra Indonesia. Periode yang
umumnya diketahui adalah periode Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ’45,
Angkatan 2000-an, dll...
Dalam hal ini, karya
sastra yang dianalisis (Sukreni Gadis
Bali) merupakan satu dari banyak karya yang tergolong ke dalam angkatan
pujangga baru. Umumnya karya sastra pada angkatan ini bertemakan percintaan.
Tetapi tentu tidak semata mengandung percintaan tanpa mengindahkan unsur-unsur
lainnya. Selain unsur percintaan, terdapat pula unsur budaya, religi, serta
didaktis. Sebab karya sastra merangkum zamannya. Ia mengumpulkan fragmen karya
dari masa ke masa hingga membentuk sebuah sebutan yang bernama sejarah
kesusastraan. Melalui media yang disebut sejarah tersebut, penggolongan
terhadap karya sastra berdasarkan zamannya akan dapat dengan mudah dinyatakan.
Sukreni
Gadis Bali merupakan karya sastra angkatan pujangga
baru yang datang dari pulau Bali. Isinya pun tidak jauh dari menceritakan adat
dan budaya Bali. Karena pengarangnya sendiri memang berasal dari Bali. Novel
ini banyak mengandung unsur kasih sayang, didaktis, budaya/ adat istiadat, dan
religi.
Karya sastra tidak
dapat dikupas secara tipis (hanya sampai permukaan), melainkan harus ada
pemahaman atau pemikiran yang mendalam dalam mengupasnya. Karena maksud dalam
karya sastra seringkali bahkan `memang benar disampaikan dengan bahasa yang
tidak denotatif.
a.
SINOPSIS
NOVEL SUKRENI GADIS BALI KARYA A.A.
PANDJI TISNA
Disebutkan Men Negara adalah seorang wanita yang berasal dari
Karangasem, dia adalah anak orang kaya. Ia datang ke Buleleng hanya bermodalkan
pakaian yang melekat di tubuhnya. Ia meninggalkan daerah itu karena suatu
persoalan dengan suaminya. Pada awalnya Man Negara tinggal menumpang di rumah
seorang haji yang mempunyai tanah dan kebun yang luas. Namun, karena Men Negara
rajin bekerja dan hemat, ia kemudian dapat memiliki kebun sendiri.
Sebenarnya di Karangasem Man Negeri memiliki seorang anak
yang ia tinggalkan. Di tempat barunya ia melahirkan dua orang anak bernama I
Negeri dan Ni Negari yang berparas cantik itu dapat menarik para pekerja
pemetik kelapa untuk singgal di warungya. Disamping itu, Men Negara pun pandai
memasak sehingga masakannya selalu disukai oleh para pekerja itu. Di antara
mereka yang datang ke warung Men Negara adalah I Gde Swamba, seorang pemilik
kebun kelapa itu. I Nagari yang jatuh hati kepada I Gde Swamba berharap jika
suatu saat nanti bisa menikah dengan pria itu.
Suatu hari datanglah seorang pria bernama I Gusti Made Tusan
dia adalah seorang menteri polisi. ia disegani dan ditakuti penduduk. Banyak
sudah kejahatan yang berhasil ditumpasnya. Ini berkat kerjasamanya dengan
seorang mata-mata bernama I Made Aseman.
Suatu hari Men Negara ketahuan oleh I Made Aseman telah
menyembelih seekor babi dan dilaporkan kepada I Gusti Made Tusan. I Made Aseman
berharap kalau Man Negeri ditangkap dan di adili agar kedai iparnya dapat laku
dan mengalahkan kedai Men Negara. Namun, hal itu tidak terjadi karena I Gusti
Made Tusan melihat Ni Negari dan terpikat oleh tutur kata dan senyum Ni Negeri.
Suatu hari datanglah seorang gadis bernama Luh Sukreni ke
kedai Men Negara untuk mencari I Gde Swamba untuk urusan sengketa warisan
dengan kakaknya, I Sangia yang telah masuk agama kristen. Menurut adat dan
agama Bali, jika seorang anak beralih agama lain, baginya tak ada hak untuk
menerima harta warisan.
Kedatangan Luh Sukreni membuat Men Negara dan Ni Negari
cemburu dan iri hati. Menteri polisi itu tampak tertarik pada Sukreni dan
berniat menjadikan Ni Sukrenis sebagai wanita simpanannya, mengetahui hal itu
Men Negara mendapatkan siasat jahat. Suatu hari ketika Luh Sukreni datang lagi
Men Negara dan Ni Negari menerimanya dengan ramah, bahkan mengajaknya untuk
menginap dan di terima oleh luh Sukreni. Saat itulah Men Negara menjalankan
siasat jahatnya. Pada malam harinya, Luh Sukreni diperkosa oleh I Gusti Made
Tusan. “Terima kasih Men Negara, atas pertolonganmu itu, hampir-hampir tak
berhasil tetapi…”. Begitulah I Gusti Made Tusan menyatakan kesenangannya atas
siasat busuk Men Negara. Sejak kejadian itu Luh Sukreni pergi entah kemana.
Namun betapa terkejutnya Men Negara ketika dia mengetahui
kenyataan sebenarnya bahwa Luh Sukreni itu adalah anak kandungnya. I Sudiana
teman seperjalanan Luh Sukreni, mengatakan bahwa Ni Sukreni adalah anak kandung
Men Negara sendiri. Ayah Ni Sukreni, I Nyoman Raka telah mengganti nama Men
Widi menjadi Ni Sukreni. Perubahan nama itu dimaksudkan agar Ni Sukreni tak
dapat diketahui lagi oleh ibunya. Mengetahui hal itu membuat Man Negara sangat
menyesali perbuatannya.
Sukreni tidak kembali ke kampungnya karena dia merasa malu
dengan apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia mengembara entah kemana. Namun,
Pan Gumiarning, salah seorang sahabat ayahnya, mau menerima Ni Sukreni untuk
tinggal di rumahnya. Tak lama kemudian. Ni Sukreni melahirkan seorang anak dari
hasil perbuatan jahat I Gusti Made Tusan. Anak itu diberi nama I Gustam.
Tidak disangka takdir mempertemukan kembali Sukreni dengan I
Gde Swamba, pertemuan itu berkat pertolongan I Made Aseman yang pada waktu itu
sedang menjalani hukuman di Singaraja. I Gde Swamba berjanji akan membiayai
kehidupan I Gustam meski anak itu bukan anak kandungnya.
I Gustam tumbuh
menjadi seorang pemuda yang memiliki perangai dan tabiat kasar, bahkan dia berani memukul ibunya. Setelah
dewasa, ia mencuri sampai akhirnya masuk tahanan polisi. Didalam tahanan, I
Gustam justru banyak memperoleh pelajaran cara merampok dari I Sintung, salah
seorang perampok dan penjahat berat yang sudah terkenal keganasannya, ahli
dalam hal perampokan dan kejahatan.
Setelah dirinya bebas dari penjara I Gustam membentuk sebuah
kelompok dan I Sintung menjadi anak buahnya. Pada suatu malam, kelompok yang
dikepalai I Gustam melaksanakan aksi perampokan di warung Men Negara. Namun
rencana itu sudah diketahui oleh aparat keamanan. Perampokan di Men Negara
mendapat perlawanan dari polisi yang dipimpin oleh I Gusti Made Tusan. I Gusti
Made Tusan sendiri tidak mengenal bahwa musuh yang sedang dihadapinya adalah
anaknya sendiri. Maka ketika I Gustam hampir putus asa karena terkena kelewang
ayahnya, I Gusti Made Tusan baru mengetahui bahwa yang terbunuh itu adalah
anaknya sendiri, setelah ia mendengar teriakan I Made Aseman. Akhirnya ayah dan
anak itupun tersungkur dan mati!. Sementara itu Men Negara berubah menjadi
orang gila yang berkeliaran di kampung dan kedainya.
b.
RIWAYAT
HIDUP A.A. PANDJI TISNA
Anak Agung Pandji Tisna
lahir di Singaraja, 11 februari 1908. Meninggal pada tanggal 2 Juni 1978, di
Lovina Beach. Beliau menempuh pendidikan di HIS Singaraja, Mulo Batavia,
belajar bahasa Inggris di Surabaya. Pada tahun 1925 ia menjadi pedagang kopra.
1935 membuka sekolah
rendah berbahasa Belanda De Sisya Pura School, menjadi guru bahasa Inggris di
sekolah Pertiwi Putra, mengarang lagu dan menjadi pemain biola pada sebuah
orkes komedi Stambul, tetapi berhenti karena menginsafi bahaya pada moral dari
profesi tersebut. Pindah ke kebun kelapa milik ayahnya di tepi pantai yang
sekarang disebut Lovina Beach. Sewaktu ingin ke Wina, di Singapura penyakit
matanya kambuh sehingga menyebabkan matanya buta.
1973 menjadi pemimpin
redaksi Majalah Jatayu ang disebut perkumpulan Bali Dharma Laksana.
1944 sebagai anak
tertua menggantikan ayahnya, A.A. Putu Djlantik, yang meninggal dunia, menjadi
raja Buleleng.
1945 dipilih menjadi
ketua raja-raja seluruh Bali
1946 beralih agama
menajdi Kristen
1947 berhenti sebagai
raja Buleleng, digantikan oleh adiknya, A.A. ng. K. Djlantik, S.H., di tahun
ini pula beliau mendirikan SMP Bhaktiyasa, perpustakaan umum, dan bioskop
1950 menjadi anggota
DPR-RIS Jakarta dan tahun itu menjadi anggota DPR_RI (Kesatuan)
1954 memuat film
Sukreni atas usahanya sendiri
1963 mendirikan gereja
di Bukit Seraya
Karya-karya
yang Pernah Ditulisnya:
Ni
Rawit Centi Penjual Orang (Balai Pustaka, 1935)
Sukreni
Gadis Bali (Balai Pustaka, 1936)
Dewi
Karuna (1939)
I
Made Widiadi (1955)
Ia digolongkan sebagai
sastrawan angkatan pujangga baru sejak ia menulis beberapa puisi yang salah
satu di antaranya adalah “Ni Putri” pada majalah Pujangga Baru.
c.
TEMA
Tema
yang diangkat dalam novel Sukreni Gadis Bali adalah perempuan dan hukum karma.
Sosok yang lebih diangkat dalam novel ini adalah perempuan. Perempuan-perempuan
Bali pada masa itu masih dipandang amat
rendah terutama oleh kalangan bangsawan. Para perempuan Bali pada masa
itu lebih sering dianggap sebagai pemuas nafsu semata, terlebih bila dirinya
berparas cantik.
d.
UNSUR
RELIGI
Unsur
agama yang disajikan dalam novel ini lebih menitikberatkan pada hukum karma
yang didapat oleh manusia atas segala perbuatannya. Segala perbuatan manusia
yang baik atau yang buruk akan mendapat balasan dari Tuhan. Bagi kepercayaan
masyarakat Bali yang berperan dalam memberi balasan atas apa yang manusia
lakukan adalah Hyang Widi Wasa.
Unsur
keagamaan dalam hal ini hukum karma amat terasa dalam novel Sukreni Gadis
Bali ini. Bahkan sang penulis, A. A. Pandji Tisna seakan menyajikannya
secara beruntun dalam novel ini
-
Bermula dari Men Negara
yang pergi dari rumah meninggalkan suami dan anaknya. Atas apa yang dirinya
perbuat membuat hidupnya mengalami kesulitan secara ekonomi.
-
Men Negara yang
bersekongkol dengan I Gusti Made Tusan demi harta. Berdampak pada hamilnya
Sukreni. Namun ternyata Sukreni merupakan anak dari Men Negara sendiri yang
dahulu ia tinggalkan.. Atas perbuatannya Men Negara menjadi gila.
-
Hamilnya Sukreni
membuat dirinya malu kembali ke desa. Kemudian dia melahirkan seorang anak
laki-laki yang diberi nama I Gustam. Namun sayang, perilaku anaknya tersebut
jauh dari kata baik.
-
I Gustam malah menjadi
seorang yang jahat, bahkan hendak merampok kedai Men Negara. Sayang apa yang
direncanakan tidak berhasil dan harus berakhir di tangan I Gusti Made Tusan
yang merupakan ayahnya sendiri.
-
I
Gusti Made Tusan baru mengetahui bahwa yang terbunuh itu adalah anaknya
sendiri, setelah ia mendengar teriakan I Made Aseman. Akhirnya ayah dan anak
itupun tersungkur dan mati
e.
UNSUR
DIDAKTIS
Dalam novel Sukreni Gadis Bali ini terdapat beberapa
aspek yang memang memengaruhi kehidupan manusia setiap harinya, baik dari adat
istiadat suatu desa maupun didikan yang membuat adat istiadat itu ada. Dalam
novel Sukreni Gadis Bali ini tidak
secara spesifik menceritakan Sukreni yang merupakan judul bukunya sendiri
melainkan dalam cerita novel ini lebih banyak menceritakan peranan moral
seorang ibu yang dalam menjaga kehormatan anaknya dan dirinya sendiri. Men
Negara, seorang tokoh dalam novel tersebut yang kentara sikap dan sifatnya
serakah. Ia terlalu tamak akan kekuasaan dan harta benda yang membuat ia lupa
bahwa ia mempunyai seorang anak.
Dalam novel ini juga
terdapat pesan moral terhadap pembaca yang apabila diklasifikasikan sebagai
berikut:
a.
Pendidikan Moral Seorang Ibu
Pendidikan
Moral adalah sebuah ajaran tentang baik buruknya suatu perbuatan yang diterima
oleh seseorang. Apabila dikaitkan dengan cerita dalam novel ada kaitannya
seperti pendidikan yang ibu berikan kepada anaknya. Melihat Men Negara
membesarkan anaknya Ni Negari dengan cara yang kurang berpendidikan yang
membuat Ni Negari bergaul dengan laki-laki yang kebanyakan hanya menikmati
kecantikan saja. Sebagai seorang ibu seharusnya tidak menjual anaknya sendiri
demi harta kekayaan sendiri seperti perckapan antara Men Negara dan Gusti Made
Tusan, “...baik begitu, bukan? Dengan
jalan demikian tidak kentara, bahwa engkau sudah tahu niat anakmu hendak lari.
Berapa kau katakan mas kawinnya? Seratus lima puluh ribu? Baik, nanti kubayar
uang itu, tunai”, (1986: 52). Dari perkataan Gusti Made Tusan sudah
tersiratkan bahwa seorang anak gadis secara tidak langsung diperdagangkan oleh
ibunya sendiri untuk menyejahterakan kehidupan pribadinya.
Dalam
novel ini disebutkan bahwa Sukreni adalah anak dari Men Negara dari suami
pertamanya. Menanggapi permasalahan ini, Men Negara tidak terlalu khawatir
meskipun ia telah membuat hancur kehidupan anaknya sendiri karena yang ada
dalam pikirannya hanyalah harta dan uang. Bahkan sampai akhirnya rumah, kedai,
dan hartanya lenyap terbakar Men Negara tetap merasa tidak bersalah pada
anaknya. Sampai pada penghujung cerita Men Negara gila karena kehilangan
kekayaannya bukan gila karena kehilangan anaknya yang ia buat menderita.
b.
Pergaulan yang Tidak Sehat
Berbicara
tentang pergaulan dalam tersebut pun memang terbilang pergaulan antarremaja
terlalu dibebaskan tanpa pantauan orang tua. Ni Negari adalah korban dari
pergaulan yang membuat ia tega berbuat jahat pada Sukreni karena iri hati pada
kecantikannya. Pembentukan karakter Ni Negari adalah didikan dari ibunya yang
ia terima dan ia tahu betul akan batas kecantikannya. Karena orang lain yang
menilai bukan dirinya sendiri. Pujian dari orang-orang yang membuat Ni Negari
tegap menghadapi para laki-laki muda yang mendatanginya. Meskipun dari
interaksi pergaulan Ni Negari tidak pantas berlaku seperti itu mengingat
usianya yang masih sangat belia.
Pergaulan
antara anak dan ibu pun bagaikan majikan dan pegawainya. Sampai-sampai anak
seperti sapi perah bagi ibunya. Meskipun seperti itu, novel ini tetap mempunyai
kaitan sebab akibat yang terlihat dari awal. Kesalahan dari seorang ibu yang
harus dibayar oleh seorang anak dan
begitupun sebaliknya seperti Men Negara dan Sukreni dan Sukreni dan anaknya,
Gustam. Pergaulan seorang ibu yang menyalahgunakan statusnya sebagai ibu yang
membuat ia salah melihat orang baik yang ada dihadapannya.
Pada
intinya, novel ini mengajarkan tentang kebaikan. Karena memperlihatkan baik dan
buruk, baik menjadi seorang anak maupun menjadi ibu. Pendidikan yang salah akan
membuahkan hasil yang tidak baik. Peranan seorang ibu bukan hanya sebagai
seorang guru saja, akan tetapi harus menjadi seorang teman bagi anak agar anak
tidak terjerumus pada hal-hal yang buruk atau memiliki sifat yang buruk. Maka
dari itu, sebagai manusia jangan pernah mendewakan harta kekayaan yang sifatnya
hanya sementara.
f.
UNSUR
BUDAYA LOKAL/ ADAT ISTIADAT
Setiap
karya sastra selalu mencerminkan kehidupan yang telah dialami oleh setiap pengarang
atau penulis. Baik itu pendidikan, situasi sosial, adat dan kebudayaan,
pengalaman pribadi, dan lain sebagainya. Menurut Grebsitein
(1968), karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologis atau menunjukan
perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural.
Begitu pula dalam novel Karya A.A. Pandji Tisna yang berjudul
Sukreni Gadis Bali. Dalam novelnya
A.A. Pandji Tisna memasukkan beberapa adat istiadat masyarakat Bali pada zaman
dulu. Selain unsur budaya A.A. Pandji Tisna juga menggambarkan kondisi sosial.
A.A. Pandji Tisna menggambarkan kondisi sosial di masyarakat
Bali ketika itu adalah masyarakat yang kejam dan keras. Persaingan yang sangat
keras itu membuat tokoh Men Negari melakukan atau menghalalkan segala cara agar
apa yang diinginkannya tercapai.
Sementara dalam unsur adat istiadat yang dimasukkan atau
dituangkan oleh A.A. Pandji Tisna di antaranya adalah dilarang menyembelih
hewan seperti babi, sapi, dan kerbau tanpa ijin. Seperti dalam kutipan berikut:
“Men Negara kedapatan sedang menyembelih babi, Ratu,”, (1986: 25) kata Made
Aseman. Dan, “...Tentu babi itu engkau potong dengan tidak minta surat
keterangan dahulu Men Nagara?”, (1986: 26) kata menteri polisi dengan suara
yang menakutkan.
Selain hal itu adat istiadat lainnya yang dituangkan adalah menurut
adat dan agama Bali, jika seorang anak beralih ke agama lain, baginya tak ada
hak untuk menerima harta warisan. Berikut kutipan dalam novel: “Bahwa Petrus
Sudana, saudara hamba, tidak boleh menerima waris orang tua, jadi waris orang tua
hamba. Sebabnya pertama karena yang meninggalkan waris iru belum diaben, dan
karena itu ahli waris belum boleh membagi-bagikan pusakanya. Kedua, karena
Petrus Sudana menjadi Kristen, sudah meninggalkan agamanya yang asli.” (1986:
45)
g.
UNSUR
KASIH SAYANG/ KEMANUSIAAN
Novel Sukreni Gadis Bali yaitu novel karangan A.A. Pandi Tisna. Novel
ini menceritakan kehidupan pada saat
lampau wanita Bali berada dalam derajat yang rendah, sehingga dapat
dipermainkan orang, terutama oleh kaum bangsawan hidung belang. Dulu khususnya
di Bali, dan tidak lepas akan nilai strata sosial yang ada, saat itu.
pada bagian pertama cerita tersebut, menceritakan situasi masyarakat dan kedai milik seorang wanita bernama Men Negara yang digambarkan sebagai wanita yang tidak baik dan sangat mendambakan harta dan kekayaan dengan jalan tidak jujur. Karena daya tarik putrinya yang hitam manis warung tersebut menjadi ramai dikunjungi para pemuda yang menaksirnya. Pada suatu hari Men Negara kedatangan tamu bernama Sukreni yang disertai pengantarnya. Sukreni datang ke kedai tersebut mencari seseorang bernama I da Gde Swamba, seorang pemuda pengawas kebun kelapa, Sukreni adalah seorang gadis yang digambarkan sangat cantik.
pada bagian pertama cerita tersebut, menceritakan situasi masyarakat dan kedai milik seorang wanita bernama Men Negara yang digambarkan sebagai wanita yang tidak baik dan sangat mendambakan harta dan kekayaan dengan jalan tidak jujur. Karena daya tarik putrinya yang hitam manis warung tersebut menjadi ramai dikunjungi para pemuda yang menaksirnya. Pada suatu hari Men Negara kedatangan tamu bernama Sukreni yang disertai pengantarnya. Sukreni datang ke kedai tersebut mencari seseorang bernama I da Gde Swamba, seorang pemuda pengawas kebun kelapa, Sukreni adalah seorang gadis yang digambarkan sangat cantik.
Ni
Luh Sukreni adalah seorang gadis berparas cantik. Dia adalah anak yang dijebak
dalam permainan ibunya, Men Negara. Men Negara tidak mengetahui bahwa gadis
yang ia jebak adalah putri kandung hasil pernikahan dengan suami pertamanya , I
Nyoman Raka. Kasih sayang seorang ibu kepada ananknya sungguh tidak ada di
dalam novel Sukreni Gadis Bali, Ibu
yang seharusnya melindungi anaknya dan menjadi tempat perlindungan untuk anaknya,
tapi, di sini ibunya sendirilah yang menjadikan sukreni yang menderita, akibar
harta yang diinginkan oleh ibu kandungnya. Ibu sendirinya yang menjadi awal
penderitan dari sukreni putri kandungnya sendiri. Men Negara yang tidak mengetahui bahwa gadis
yang telah ia celakai adalah anak kandungnya sendiri. Ni Luh sukreni dulu bernama Ni Widi yang
kemudian diganti oleh bapaknya.Walaupun I Negara merasa bahagia dengan adanya
kabar itu, namun Men Negara sangat terkejut dan menyesal. Sukreni melarikan
diri entah kemana. Ada sebuah penyesalan yang Men Negara rasakan pada batin.
Sukreni yang
pada awalnya ia mencari Ida Gde Swamba, Sukreni
dan Ida Gde Swamba yang saling menyukai. ketika Ida Gde Swamba yang sangat
mencintainya sukreni menjadi sedih
karena mendengar berita tersebut. Berbulan-bulan Ida Gde berusaha mencari
sukreni. Suatu ketika Ida Gde bertemu dengan I Aseman, mata-mata menteri polisi
bejat itu. Dari I Aseman ia mendapatkan informasi tentang sukreni yang
tinggal di rumah saudaranya. Ketika Ida Gde Swamba datang sukreni baru
saja melahirkan anak hasil perbuatan keji I Made Tusan yang diberi nama I
Gustam. Karena ketulusan cinta Ida Gde, ia berniat untuk menanggung biaya hidup
sukreni dan anaknya. Seperti pada kutipan tersebut : “ apa jua yang kautangiskan, Sukreni? Anak itu tidak bersalah sedikit
jua, sama dengan engkau. Sebab itu dia harus dikasihi, sebagai engkau jua,”
kata ida sambil mengurut-urut rambut perempuan itu.” (1986: 91)
Dari
kutipan di atas sangat tergambarkan jelas bahwa Ida Gde mencintai sukreni apa
adanya dan sangat tulus mencintai gadis tersebut, walaupun Sukreni sudah
diperkosa oleh ayahnya sendiri. Cinta yang tulus tidak akan memandang dari sisi
luarnya, seperti Ida Gde yang menerima keadaan Sukreni apa adanya.
Setiap
perbuatan yang telah dilakukan pasti akan ada resikonya, termasuk kepada Men
Negara. Semua yang jahat dan bersalah mendapatkan hukuman dari Hyang Widi Wasa.
Men Negara yang merasa berdosa karena ternyata Sukreni yang dicelakakannya
adalah anaknya sendiri dimana masa silam ditinggalkannya di kampung halamannya,
akhirnya Men Negara menjadi gila. Semua
perbuatan akan di balaskan oleh hyang Widi tanpa kita melakukan, Hyang Widi
(tuhan) yang akan membalasnya. Tuhan sangat sayang pada umat-Nya, seperti pada
Men Negara. Seperti pada kutipan di bawah ini.
“
Di bawah pohon kelapa kelihatan Men
Negara dan NI negari serta keluarganya yang lain-lain duduk merenungi api yang
telah hampir padam. Ketika itu terasa oleh mereka itu, bahwa mereka telah kena
hukuman Widi. Tuhannya. Terbayang di mata Men Negara rupa Ni Luh Sukreni,
anaknya. Yang telah dicelakannya. Asap yang mengepul naik dari unggunan bara
rumahnya dan hartan bendanya itu, tampak gelak sebagai orang melambai-lambai
dia sambil tertawa gelak dan menyeringi dengan dahsyatnya.” (1986: 106)
“Men Negara memekik, berlari, lalu jatuh terguling-tak ingat kagi akan dirinya.” (1986: 106)
h.
PENGGUNAAN
BAHASA
Sukreni Gadis
Bali merupakan salah satu dari beberapa novel
yang dikarang oleh A.A. Pandji Tisna. Novel ini telah mengalami berulang kali
pencetakan sejak pencetakan pertamanya pada tahun 1936. Sukreni Gadis Bali sendiri merupakan karya A.A. Pandji Tisna yang
kedua setelah karyanya yang berjudul Ni
Rawit Centi Penjual Orang yang lebih dulu tercetak pada tahun 1935 oleh
Balai Pustaka (satu tahun sebelum novel keduanya dicetak).
Berdasarkan
tahun cetakan pertamanya yang dicetak pada tahun sebelum kemerdekaan Indonesia
dan sebelum penetapan EYD, penulisan novel ini pun tentu menggunakan ejaan
lama. Hanya saja dalam pencetakan ulangnya, gaya bahasa tentunya menyesuaikan
dengan keadaan zamannya.
Pada
penganalisisan gaya bahasa dalam novel Sukreni
Gadis Bali kali ini menggunakan novel yang telah dicetak ulang untuk ke-26
kalinya (2013). Gaya bahasanya agaknya tidak terlalu banyak diubah, hanya saja
dalam penggunaan EYD, tulisan dalam novel sudah menggunakan ejaan yang telah
disempurnakan; tidak lagi menggunakan ejaan lama.
Penggunaan
bahasa yang terdapat di dalam novel cenderung mengulang kata. Di antaranya
terdapat dalam petikan, “kadang-kadang air hujan bagai bendungan di
sebelah-menyebelah atau di tengah jalan...” (2013:1), yang tersurat ketika
bagian awal cerita menjelaskan latar tempat cerita tersebut. Kemudian “engkau
bangkit-bangkit pula”, (2013: 68), jawaban yang diutarakan Men Negara kepada I
Negara ketika I Negara menanyakan masa lalu Men Negara. Lalu ada pula kalimat,
“duduk tiga orang dengan bersembunyi di balik pohon-pohonan”, (2013: 97),
bagian kalimat ini untuk mengungkapkan rencana pencurian I Gustam dan
kawan-kawannya. Kemudian kata-kata lainnya seperti “tinju-meninju,
dorong-mendorong, luas-luas, tiap-tiap” pun terdapat dalam novel Sukreni Gadis Bali ini.
Penggunaan
kata juga bergantung pada latar belakang budaya dalam cerita. Sukreni Gadis Bali merupakan sebuah
karya yang diciptakan oleh orang Bali dengan latar tempat, waktu, dan suasana
Bali yang terbilang kental. Oleh karena itu, penggunaan bahasa pun ikut
terpengaruh dari latar belakang tersebut. Contoh penggunaan kata atau bahasa
yang menunjukkan latar belakang kebudayaan Bali tersebut adalah, “kelian
(kepala kampung)” (2013: 4), “sanghiang surya (matahari)” (2013: 5), “bayuan
(tuak yang telah bermalam –didiamkan semalaman)” (2013: 7), dll... seperti
gerubug (penyekit sampar), bersanteng (kemban kain dada), Widi (Tuhan orang
Bali), diaben (dibakar dengan upacara), dsb...
Penggunaan
gaya bahasa juga dapat dikaitkan dengan cara penceritaan A.A. Pandji Tisna
dalam novel. Salah satu contohnya adalah penjelasan mengenai identitas Men
Negara yang baru dieksplisitkan setelah cerita maju (bukan di awal cerita).
Pengeksplisitan itu terdapat dalam kalimat, “Men Negara berasal dari
Karangasem, anak seorang kaya di negerinya. Ia datang ke Buleleng hanya dengan
pakaian yang lekat pada badannya saja...”, (2013: 7) kurang lebih satu paragraf
itu mengungkapkan siapa Men Negara dan bagaimana latar belakangnya hingga ia
dapat diceritakan sebagai seorang Ibu pada bagian awal cerita.
Sebagai
penegasan bahwa gaya bahasa yang digunakan masih menggunakan gaya bahasa EYTD,
berikut merupakan sebuah paragraf dalam novel Sukreni Gadis Bali:
“Hari
masih amat pagi. Jalan kecil itu sebagai sungai rupanya, karena malam hari
turun hujan dengan lebatnya. Oleh karena itu tak ada yang lalu di situ, sepi.
Pohon kelapa sebagai kedinginan rupanya, serta batangnya masih basah karena air
hujan itu. Walaupun demikian, asap kedai itu mengepul jua ke udara, dan Men
Negara memanggil-manggil dengan sibuknya. Seorang dua orang tampak masuk dari
pintu bambu itu, hendak minum kopi.” (2013: 2)
Di
antara banyak penggunaan gaya bahasa lama, salah satunya adalah penggunaan kata
“sebagai” yang diartikan sama dengan “seperti.”
SIMPULAN
1.
Tema Sukreni Gadis Bali adalah perermpuan dan
hukum karma.
2.
Unsur religi yang
terdapat dalam novel ini adalah lebih mengarah pada adanya hukum karma.
3. Unsur didaktis dalam
novel ini terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan
moral seorang Ibu dan pergaulan yang tidak sehat.
4.
Unsur budaya lokal/
adat istiadat dalam novel ini di antaranya mengenai budaya dan adat istiadat
Bali, misalnya dalam hal pelarangan penyembelihan babi tanpa izin dan apabila
seseorang meninggalkan agamanya atau berpindah agama, maka orang itu tidak akan
mendapatkan hak waris.
5.
Unsur kasih sayang/
kemanusiaan dalam novel ini menyangkut cinta yang tulus tidak melihat dari
bagaimana masa lalu orang yang dicintai, melainkan kesediaan untuk menerima
pasangan apa adanya.
6.
Penggunaan bahasa dalam
novel ini cenderung menggunakan gaya bahasa lama, namun ejaannya telah
disempurnakan.
Sumber: Makalah Analisis Novel Sukreni Gadis Bali
0 komentar:
Posting Komentar
1. Berkomentarlah menggunakan kata yang sopan dan halus
2. Dilarang SPAM!!!
3. Komentar dilarang mengandung SARA!!!
4. Dilarang menghina atau mengejek individu atau kelompok tertentu